Para ultras biasanya mewakili suatu ideologi, politik, fasisme dan dengan latar belakang yang lain, begitu juga di italia Peran para ultra dalam perubahan sebuah klub di Italia lebih besar perannya dibanding para hooligan di tanah Inggris.
Ultras pertama dan tertua di Italia adalah Milan's Fossa dei Leoni ( Sarang Singa ) yang didirikan pada tahun 1968, yang kemudian menetap di bagian paling murah di stadion San Siro di sektor 17. Kemudian pada tahun 1969 muncullah Ultras Sampdoria (kelompok pertama yang menyebut diri mereka ultras), diikuti oleh "The Boys" dari Inter Milan. Dan pada tahun 1970an banyak bermunculan ratusan kelompok-kelompok kecil di stadion yang kemudian membentuk kelompok besar seperti Yellow-blue Brigade Verona, Viola Club Viesseux Fiorentina ( 1971), Naples Ultras (1972), Red and Black Brigade Milan, Griffin's Den Genoa dan Granata Ultras Torino (1973), For Ever Ultras Bologna (1975), Juventus Fighters (1975), Black and Blue Brigade Atalanta (1976), Eagle's Supporters Lazio dan Commando Ultras Curva Sud (CUCS) Roma (1977).
Kode etik ultras
Di sepakbola Italia, Ultras dikenal sebagai Tuhan didalam stadion, merekalah yang berkuasa. Biasa bertempat di tribun di belakang garis gawang, dimana di tribun tersebut memiliki kekhususan, yaitu polisi tidak diperkenankan berada di tribun ini atau muncul masalah. Seperti kita lihat pada partai derby, Roma - Lazio, dimana ultras dapat membatalkan pertandingan dengan isu ada anak kecil yang ditembak polisi.
Di Italian ultras ini, mereka memiliki tradisi, yaitu pertempuran antar grup ultras, artinya sah-sah aja kalo salah satu grup ultras berkelahi dengan grup ultras lainnya, dan sebagai bukti kemenangan, maka bendera dari grup ultras yang kalah akan diambil oleh sang pemenang. Kode etik dari ultras lainnya ialah, seburuk apapun para tifosi ini mengalami kekejaman dari tifosi lainnya, maka tidak diperkenankan untuk lapor polisi.
Hal inilah yang membuat salah satu grup ultras Milan yaitu Fossa Dei Leoni (FDL) dinyatakan bubar, karena menjelang pertandingan Milan melawan Juventus beberapa musim yang lalu, seorang tifosi garis keras Milan melambaikan bendera Viking Juve.
Dalam tradisi ultras Italia, apabila ada grup tifosi lain yang memiliki flags/banner dari musuhnya, maka berarti bahwa grup tifosi tersebut berhasil menaklukan atau mempermalukan musuhnya tersebut, tetapi ada syaratnya, bendera tersebut bukan diperoleh dari dicuri, atau diambil tanpa sepengetahuan grup ultras lawan tersebut melainkan harus dari open fight.
Masalah timbul, karena tifosi FDL ini memperoleh bendera Viking JUVE bukan dari open fight, melainkan dari menemukan di jalan. Viking JUVE tidak terima dengan hal tersebut, sehingga mereka mencegat tifosi Milan di Eindhoven setelah partai liga Champions PSV - Milan, mereka mencegat dengan menggunakan senjata tajam dan berhasil merebut bendera FdL.
(Viking Juve)
(Banner FDL yang di rebut Viking)
Timbul masalah, karena hal tersebut, FDL lapor polisi, padahal dalam kode etik italian ultras, polisi adalah hal yang di haramkan alias A.C.A.B (All Cops Are Bastar*s). FdL semakin mendapat tekanan dari grup tifo Milan yang lainnya, seperti Brigate Rossonere, sehingga grup tifosi tertua ini (196 menyatakan mundur dan membentuk grup baru yaitu Guerrieri Ultras. Banyak yang bilang, bubarnya FdL juga disebabkan konflik internal, selama ini FdL lah yang berada di belakang aksi koreografi tifosi Milan, BRN ingin mengambil peran itu.
(Banner IRRIDUCIBILI Inter-Lazio yang di rebut Viking JUVE)
Kekerasan juga menjadi hal yang buruk dalam sejarah ultras di Italia, tetapi diluar itu, mereka juga memiliki kode etik tersendiri dalam kehidupannya. Biasanya grup ultras akan bertempat di suatu tribun di stadion di Italia, dan dipimpin oleh seseorang yang disebut CapoTifoso. Masalah timbul apabila ada seseorang (diluar grup ultras) yang telah memiliki tiket resmi, dan sudah antri untuk masuk ke tribun yang kebetulan ditempati ultras dan mendapat tempat yang nyaman, tetapi ketika grup ultras masuk, maka orang tersebut akan diusir dari tempat duduknya, memang tidak fair. Seorang CapoTifoso juga memiliki kekuatan tersendiri di tribun tersebut, apabila ia memerintahkan untuk melempar benda-benda kelapangan, maka akan dilemparkan benda tersebut ke lapangan, tetapi apabila ia melarang, maka tidak ada satupun tifosi yang berani melawannya.
Kekerasan
Di Sepak Bola Italia
Budaya kekerasan dalam dunia sepakbola sering diidentikkan dengan
kerusuhan antar suporter maupun perkelahian antar pemain dan ofisial
tim. Pandangan tersebut tidaklah salah hanya saja tidak selamanya
sepakbola itu selalu penuh dengan kekerasan meskipun sepakbola itu
sendiri adalah olahraga yang keras.Kekerasan dalam sepakbola tersebut merupakan evolusi dari budaya Ultras dan hooliganisme yang saat ini telah berkembang ke seluruh penjuru dunia. Hooliganisme tidak hanya mendorong kekerasan di dalam stadion tetapi juga menyebarkan benih-benih kekerasan di luar stadion. SEPAK BOLA Italia menyimpan cerita kelam. Di sana sering kali muncul kericuhan yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa. Berikut kekerasan yang pernah terjadi.
Oktober 1979
Seorang fans Lazio bernama Vincenzo Paparelli meninggal sesudah dilempari bom api dalam derby melawan AS Roma.
Maret 1982
Tifosi AS Roma, Andrea Vitone tewas karena Romanisti lainnya membakar kereta yang membawa supporter mereka. Romanisiti melakukannya karena kesal timnya kalah dengan Bologna.
Oktober 1988
Pecah kerusuhan antara suporter Inter Milan dengan Ascoli. Nazzareno Filippini, seorang suporter Ascoli tewas delapan hari sesudah bentrokan karena luka-luka yang dideritanya sewaktu diserang pendukung Inter.
Januari 1995
Sebelum pertandingan melawan AC Milan, seorang fans Genoa, Vincenzo Spagnolo tewas tertusuk pisau.
Juni 2001
Partai Catania vs Messina membawa korban. Seorang penonton bernama Antonio Curro mati akibat terkena ledakan bom rakitan.
September 2003
Napoli terpaksa memainkan lima pertandingan tanpa penonton akibat perkelahian yang muncul di lapangan dalam pertandingan melawan Avellino. Dalam insiden itu 30 polisi cedera dan seorang fans bernama Sergio Ercolano tewas terjatuh dari tribun.
Maret 2004
Derby della Capitale lagi-lagi memicu kerusuhan. Suporter Roma turun ke lapangan untuk menemui kapten Francesco Totti agar menghentikan pertandingan. Hal itu dilakukan karena ada rumor polisi membunuh seorang suporter.
September 2004
Pertandingan antara Roma dan Dynamo Kyiv di Liga Champions ditunda karena wasit Anders Frisk terluka akibat terkena korek api yang dilemparkan suporter dari tribun.
April 2005
Kiper Milan, Nelson Dida cedera setelah dilempati kembang api oleh suporter Inter di dalam pertandingan perempat final Liga Champions 2004-05. Pertandingan itu akhirnya dihentikan.
Februari 2007
Seorang polisi bernama Filippo Raciti terbunuh dalam kericuhan antarsuporter Palermo dan Catania
November 2007
Gabriele Sandri, seorang fans Lazio meninggal karena terkena peluru nyasar yang ditembakkan polisi untuk meredakan kerusuhan antara suporter Lazio dengan Juventus.
As Roma Vs Juventus
Ultras juga tidak cuma bertempur dengan ultras klub rival tapi juga kadang sesama ultras yang mendukung satu klub tapi beda kelompok kadang juga saling bentrok satu sama lain. Bahkan saling bunuh membunuh, itu yang terjadi pada tahun 2007 an sesama ultras milan juga bentrok, antara anggota Brigade rossonere dengan anggota Comando tigre penyebabnya gara-gara rebutan pengaruh di curva sud, sama halnya di juventus, sesama ultras juga ribut, antara Tradizione (ex Fighter) + viking dengan Drughi yang menyebabkan capo Drughi Dino Rivoli tewas pada saat itu tahun 2006 after friendly match lawan alessandria, alasannya juga rebutan pengaruh di curva scirea(curva sud), tapi sekarang masalah rebutan pengaruh di curva scirea sudah tidak ada seiring kepindahan ex ultras curva nord ( viking, tradizione,nucleo(N.A.B), gruppo marche 93) ke curva sud bahkan pas lawan milan mereka bikin koreografi bersama bentrok ultras sesama club di luar italia juga ada ultras PSG boulougne boys dengan tigris mystic penyebabnya perbedaan ras, boulougne boys anggotanya asli orang kulit putih dan anti imigran kalo tigris mystic kebanyakan imigran dari afrika utara (maroko, tunisia, aljazair) yang berkulit hitam bahkan bentrokan antara ultras PSG sempat jadi isu nasional hingga sampe pemerintah perancis membubarkan kedua ultras tersebut.
Terkadang kalau di fikir memang seperti aneh ataupun memalukan tapi di dalam dunia ultras dan kefanitakan kejadian seperti itu adalah hal yang biasa dan jika sesama keluarga ada sebuah perbedaan prinsip dan ideologi itu hal yang tidak memalukakan dan tidak pula aneh, walaupun ultras terkadang mengesampingkan akal sehat karna terkadang terpengaruh alkohol atau pun obat-obatan.
Begitulah fenomena ultras di italia, terlepas dari segala bentuk kontrofersialanya para ultras terkadang sangat kreatif dengan koreografinya.
FOOTBALL WITHOUT ULTRAS IS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar